Kisah Cinta Sejati Phang & Yin
Di Kamboja ada sepasang suami istri
yang dikenalkan oleh seorang teman. Kedua orang ini terlihat sangat
romantis, berpegangan tangan pada waktu berbincang-bincang, saling curi
pandang satu dengan lainnya, dan masih sering saling senyum. Hal itu
tentu saja menakjubkan dan menjadi tanda tanya mengingat pasangan
tersebut bukan remaja lagi, usianya sudah enam puluh tahun lebih.
Setelah beberapa lama mengenal mereka, ternyata mereka punya cerita yang
sangat panjang dan berliku-liku. Ada kah yang punya kisah hidup seperti
ini? Berikut ceritanya kami tulis ulang dengan gaya bahasa “saya” ,
tetapi karena panjang kisahnya, terpaksa kami ringkas dengan tidak
menghilangkan maknanya.
***
Nama saya Phang, saya pertama kali
melihat istri saya pada waktu saya masih 18 tahun. Ayah saya pejuang
yang berpindah-pindah tugas sejak perang Indocina di Kamboja tahun
1950-an, pada akhir 1970-an kami sekeluarga ditempatkan di Siem Reap di
mana saya satu kampung dengan Yin, istri saya. Saya tidak pernah kenal
dengan dia walau satu kampung, tetapi saya sering melihatnya sore-sore
di depan rumah. Dia waktu itu masih berusia 10 tahun, delapan tahun
lebih muda dari saya.
Setelah itu saya tidak pernah melihatnya
lagi karena keluarga saya pindah ke kota lain, dan pindah lagi, dan
pindah lagi. Sebelum pindah dari Siem Reap, tetangga-tetangga sempat
memanggil juru foto dan mengajak keluarga saya foto bersama, foto itu
selalu dibawa oleh ayah saya dan ditaruh di ruang tamu setiap kali kami
pindah rumah. Dari foto itulah saya selalu ingat Yin, wanita cilik
bermuka pucat yang teduh matanya. Dia terlihat kurus di foto itu dengan
rambutnya yang dipotong cepak karena kutuan.
Di usia saya menjelang 30 tahun saya
bekerja sebagai tukang pos. Tugas saya mengantar surat setiap hari di
utara kota Phnom Penh. Saya tergolong pekerja keras tetapi suatu pagi,
di saat hujan deras sekali, saya malas keluar rumah. Ayah saya berkata
saat itu :
“Kamu tidak pernah tahu apa isi tumpukan
surat itu. Mungkin ada kabar sukacita, mungkin ada duka, mungkin ada
juga yang tidak dapat ditunda sehari pun.”
Kalimat itu membangunkan saya, akhirnya
saya putuskan jalan dan mengantar semua surat-surat itu di tengah hujan
deras dan gemuruh guntur. Surat terakhir yang saya kirim hari itu masih
disertai hujan, padahal hari sudah sore jam 3-an. Saya basah kuyub
tetapi hati saya lega. Saat keluar dari kantor itu setelah mengirim
suratnya, sekelibat saya melihat di balik jendela ada wajah yang saya
kenal. Yin! Dia sudah berubah, rambutnya panjang sebahu, badannya
gemukan, pakai kaca mata tetapi saya masih mengenalinya. Saya ingin
menyapanya tapi saya tidak tahu bagaimana caranya. Setelah beberapa lama
saya memutuskan untuk pulang tanpa bilang halo.
Semalaman saya teringat dia, tetapi saya
masih tetap tidak tahu bagaimana cara menyapanya. Saya berpikir terlalu
lama sehingga baru seminggu kemudian saya punya cara menyapa Yin. Saya
datang ke kantor itu lagi dan saya berpikir untuk minta ijin menemui
Yin. Tetapi… saya terlambat! Ternyata Yin tidak lagi bekerja di situ,
hari saya melihat dia adalah hari terakhir dia di sana. Yin keluar
karena dia harus ikut keluarganya pindah ke Hanoi, Vietnam, karena
ayahnya mendapat tugas di sana.
Saya sangat kecewa dan menyesal.
***
Beberapa tahun kemudian saya diterima
kerja di sebuah perusahaan logistik, saya mendapat posisi bagus sebagai
manager yang mengurusi pengiriman barang dari satu kota ke kota lain.
Saat itu saya memiliki seorang kekasih dan punya rencana untuk menikah.
Kemudian suatu pagi ketika saya bertugas di Siem Reap, saya tidak
sengaja berpapasan dengan Yin di sebuah gedung pemerintah. Saya kaget
dan tertegun melihat dia, dan saya rasa dia pun demikian. Bodohnya, saya
tidak menyapanya! Saya ragu-ragu karena saya bersama seorang relasi dan
dia bersama beberapa orang teman.
Pertemuan singkat itu benar-benar
membuat saya bergejolak! Saya bertanya-tanya apakah dia mengenali saya?
Apakah dia ingat saya? Saya membodoh-bodohkan diri saya, mengapa saya
tidak menyapanya! Tetapi saya juga berusaha menghibur diri, itu tadi
bukan Yin, Yin kan sudah pindah ke Vietnam. Pikiran tentang Yin tidak
pernah hilang. Saya sempat ceritakan ke kekasih saya dan dia berang
karena cemburu.
Beberapa bulan setelah kejadian itu saya
mendapat masalah mendadak dan harus pergi ke Siem Reap. Di tengah
kekalutan pekerjaan, saya sedang berjalan di sisi jalan ketika melihat
Yin di jendela sebuah bis jurusan luar kota. Saya melihatnya dan
melambai-lambaikan tangan. Dia pun melambaikan tangan seperti mengenal
saya. Saya berusaha mengejarnya tetapi bis itu terlalu cepat pergi dan
saya kehilangan kesempatan bertemu dia. Kejadian itu sungguh membuat
hati saya bergetar, saya merasa saya jatuh cinta. Benar-benar jatuh
cinta.
Gara-gara peristiwa itu saya memutuskan
hubungan dengan kekasih saya, saya merasa tidak bisa menikah dengannya
selama saya masih terus memikirkan Yin. Tidak adil buat dia. Orang tua
saya sangat kecewa dengan sikap saya dan menganggap saya membuang
kesempatan terbaik di dalam hidup saya.
***
“ I’ve fallen in love many times… always with you – Anonymous“
Sepuluh tahun berlalu, saya tidak pernah
melihat Yin. Setiap hari ingatan saya akan dia membuat hati saya
tertutup untuk orang lain. Usia saya sudah 40 tahun lebih dan semua
orang mengira saya tidak menikah karena saya patah hati ditinggal
kekasih saya dulu. Mereka tidak ada yang tahu kalau di hati saya cuma
ada Yin. Sering saya mencoba mencari Yin, dari buku telepon sampai saya
datangi kampung saya dulu untuk tanya di mana keberadaan keluarga Yin.
Ada yang bilang pindah ke Hanoi, ada yang bilang di Phnom Penh, semua
serba simpang siur.
Di ulang tahun saya yang ke 48, saya
melihat iklan baris di surat kabar. Ada seorang Yin mencari surat-surat
yang hilang dan meminta yang menemukannya untuk mengirimkan ke Hanoi
dan akan diberi imbalan. Saya tidak berpikir panjang, ini pasti Yin
saya! Saya berangkat ke Hanoi beberapa hari kemudian dan menemui Yin.
Sayangnya dia bukan Yin yang saya cari. Yin lain, bukan Yin saya.
Teman-teman saya sudah menasihati lebih baik telepon dulu sebelum
berangkat tetapi saya tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan di
telepon dan saya terlalu yakin kalau itu pasti Yin yang saya cari. Surat
kabar itu sampai sekarang masih saya simpan sebagai kenang-kenangan.
Tetapi semua itu tidak sia-sia. Dari ide
iklan baris itu, saya memasang iklan di koran Hanoi : iklan saya
singkat : Yin yang dari Siem Reap, hubungi Phang. Saya memasang iklan
itu 3 kali tetapi tidak ada orang yang menghubungi saya. Kali yang
keempat, saya memutuskan untuk mencoba pasang iklan di koran Phnom Penh,
tidak lagi di Hanoi. Dalam perjalanan ke agen iklan saya dikejutkan
oleh Yin. Saya ketemu dia di jalan! Dia keluar dari taxi yang hendak
saya tumpangi.
“Yin, ini aku! Kamu tahu siapa aku?” begitu kata-kata saya pertama kali.
Jodoh di tangan Tuhan, ternyata Yin
sangat mengenal saya. Bahkan di pertemuan saat itu, dia mengeluarkan
foto dari masa kecil kami, foto dengan para tetangga di Siem Reap. Dia
sudah jatuh cinta dengan saya sejak dia masih 10 tahun. Katanya dia
sering melihat saya tetapi takut untuk menyapa karena dia masih kecil
dan saya terlihat sangat dewasa. Dan yang lebih menggembirakan lagi, ia
belum menikah!
***
Pertemuan itu adalah awal hubungan
percintaan kami. Ternyata Yin selama itu tinggal di Hanoi, meski pernah
ia pernah bertugas beberapa bulan di Siem Reap. Dia bekerja di
perusahaan Vietnam yang punya cabang di Kamboja. Karena itu kami bertemu
setiap beberapa bulan sekali dan merencanakan untuk segera menikah.
Tetapi perjalanan kasih kami tidak
mulus, ayah Yin harus menjalani transplantasi jantung dan harus dibawa
ke Canada. Yin harus pindah ke sana bersama-sama dengan keluarganya dan
kami hanya bisa berhubungan lewat email dan chat. Lima tahun Yin di sana
sampai ayahnya meninggal, kemudian balik ke Hanoi. Hanya sekali saya
mengunjunginya di Toronto, Canada, itupun dengan menghabiskan semua
tabungan yang saya kumpulkan bertahun-tahun. Sebenarnya saya ingin
segera menikahinya tetapi keluarga Yin belum mengijinkan kami karena
ayahnya yang sedang sakit. Mereka percaya bahwa tidak tepat menikah di
saat salah satu anggota keluarga dekat sakit keras.
Sepulang Yin dari Toronto, usia saya
sudah 55 tahun. Saya tidak berpikir panjang, saya akan segera
menikahinya. Sekali lagi perjalanan kasih kami tidak mulus, dalam
perjalanan ke Hanoi untuk melamar Yin dengan kedua orang tua saya, ayah
saya terkena stroke dan meninggal di perjalanan. Kami sangat terpukul
dengan kejadian itu, dan lebih-lebih beberapa bulan kemudian ibu saya
menyusul ayah. Ayah saya meninggal di bulan Desember, ibu menyusul
beberapa bulan kemudian di bulan Maret. Praktis tahun itu kami tidak
bisa menikah karena kepercayaan yang tidak menyarankan pernikahan di
tahun yang sama dengan kematian orang tua.
***
Usia saya 57 tahun ketika saya menikahi
Yin. Dia masih muda, belum 50 tahun, terpaut 8 tahun dibanding saya.
Sejak hari itu, kami seperti pangeran dan putri karangan HC Andersen,
live happily ever after. Saya sangat mencintainya, setiap hari seperti
pacaran tanpa ada habisnya, inilah true love, cinta sejati kami. Puluhan
tahun kami jatuh cinta tapi tidak bisa sama-sama. Kami selalu terkenang
dengan semua kisah hidup kami Sering kami masih komunikasi menggunakan
email dan chat, karena Yin sedang di kamar mandi dan Phang di meja
makan.